Tahapan Pemerolehan Bahasa Pertama
Pada Anak
1.
Teori
Behaviorisme
2.
Teori
Nativisme + Behaviorisme vs Nativisme
3.
Tahapan
pemerolehan fonem, kata dan kalimat
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang
pemerolehan bahasa ada dua istilah penting yang perlu diketahui terlebih dahulu
terkait dengan bagaimana anak belajar bahasa ibu (Su’udi: 2011), yaitu:
1.
Pemerolehan
(tidak disengaja + informal)
Pemerolehan digunakan untuk menyatakan cara belajar anak yang
dilakukanya terhadap bahasa ibunya. Ia belajar dengan tidak disengaja dan pada
situasi informal
2.
Pembelajaran
(disengaja + formal)
Proses
belajar mengajar disituasi formal dan dilakukan dengan sengaja. Pembelajaran
tidak terkait bahasa ibu, tetapi bahasa kedua, ketiga dan seterusnya.
Kita harus tahu kapan dan dimana kita akan
menggunakan istilah tersebut.
Contoh: Belum dua tahun Titi sudah lancar
bercerita. Mana ungkapan yang lebih tepat? Titi cepat sekali memperoleh bahasa
(jarang didengar) / Titi cepat sekali
belajar bahasa (umum digunakan).
Apa itu ‘pemerolehan bahasa’ dan ‘bahasa
ibu’?
Pemerolehan
bahasa (bahasa inggris: language acquisition) adalah proses manusia mendapatkan
kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk
pemahaman dan komunikasi.
Pembelajaran
bahasa adalah proses manusia mendapatkan bahasa dari sistem pendidikan yang
bersifat formal dan disengaja (terkait dengan pemerolehan bahasa kedua, ketiga,
dan seterusnya)
Bahasa
ibu (bahasa asli; mother tongue dalam bahasa
inggris) adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang. Dan
orangnya disebut penutur asli dari bahasa tersebut. Biasanya
seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka.
Secara umum, ada dua teori yang dipercayai
valid dalam pemerolehan bahasa
- Teori
Behaviorisme (Nurture)
- Teori
Nativisme (Nature)
A. Teori
Behaviorisme
1. Perkembangan
Teori Behaviorisme
Behaviorisme
mulai terkenal luas pada era tahun 40-an dan 50-an. Tokoh-tokoh di belakang
teori ini antara lain Bloomfield, Ivan Pavlov, John Watson, Edward Thorndike,
dan yang paling terkenal pada teori behaviorisme adalah Burrhusm Frederic
Skinner.
Ivan Pavlov pernah melakukan percobaan mengenai teori
ini dengan menggunakan anjing. Dengan menghubungkan sistem saraf anjing dengan
suara metronom dengan makanan dan juga hubungan timbal balik antar air lidah
dan kerja perut. Tanpa air liur, perut tidak membawa pesan untuk mulai
pencernaan. Pavlov ingin melihat bahwa rangsangan luar dapat mempengaruhi
proses ini, maka ia membunyikan metronom dan mengadakan percobaan dengan saat
waktu anjing mau mendapatkan makanan. Setelah beberapa saat, yang sebelumnya si
anjing hanya mengeluarkan air liur saat melihat makanan, akan mengeluarkan
makanan jika metronom itu bersuara, bahkan ketika tidak ada makanan. Percobaaan
tersebut melahirkan sebuah teori bahwa perilaku baru dapat diciptakan dengan
cara mendatangkan stimulus. Skinner
juga pernah melakukan percobaan dengan menggunakan tikus. Percobaan itu
dilakukan dengan cara memasukkan tikus kedalam sangkar yang didalamnya diletakkan
dua pengungkit. Diatas sangkar diletakkan dua buah mangkok, yang satu berisi
makanan dan mangkok kedua berisi bedak gatal yang dihubungkan dengan
pengungkit. Jika tikus menginjak tongkat pengungkit yang pertama, maka sepotong
makanan akan jatuh kedalam sangkar, sedangkan jika tikus menginjak pengungkit
yang kedua maka bedak gatal yang akan terjatuh. Ternyata tikus belajar dari
pengalamanya setelah kedua tongkat itu pernah diinjak, tikus tersebut selalu
menginjak pengungkit yang pertama karena dengan demikian tikus akan mendapatkan
makanan. Percobaan ini juga menyimpulkan bahwa stimulus dan penguatan akan
membentuk perilaku baru.
Mereka berpendapat
bahwa behaviorisme itu perubahan sikap atau perilaku terbentuk dari rangsangan
(stimulus) dan tindak balas (respon). Oleh sebab itu, maka dapat dikatakan
perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan.
Komponen penting
dalam teori behaviorisme
a)
Lingkungan
Para penganut teori behaviorisme dalam
pembelajaran menganggap bahwa lingkungan adalah komponen yang penting.
Lingkungan dapat memberi stimulus dan penguatan. Contoh, orang tua memberikan
contoh penggunaan ungkapan bahasa dengan berbicara kepada anak dalam situasi
yang bermacam-macam. Pada akhirnya, anak itu akan mendengar berbagai ungkapan
tersebut. Ketika lingkungan si anak itu sangat bagus maka anak itu juga akan
memperoleh bahasa dengan bagus pula.
b)
Penggunaan
penguatan positif dan penguatan negatif.
-
Penguatan
positif (Reward)
-
Penguatan
negatif (Punishment)
Contoh:
Ketika anak memproduksi bahasa dengan
benar, si orang tua memberi apresiasi (penguatan positif) misalnya dengan
mengatakan, “Eh pintar sekali dedek !”. Boleh juga si orang tua memberikan
hadiah permen atau boneka drakula ! dan jika si anak tidak dapat mengucapkan
ungkapan dengan baik, si orang tua membenarkannya dan member hukuman (penguatan
negatif) misalnya dengan mengambil permen yang sudah diberikan, “Dek, jika kamu
salah Papi akan ambil nih permen rasa melon kamu!” maka anak tersebut akan
terangsang untuk menggunakan bahasa yang lebih baik lagi dari penguatan
tersebut.
2. Teori
behaviorisme dalam pemerolehan bahasa.
Kaum
behaviorisme mengaplikasikan hukum behaviorisme ini terhadap pemerolehan bahasa
dan juga pembelajaran bahasa. Mereke berpendapat bahwa pemerolehan bahasa ini
tidak berbeda dengan pemerolehan tingkah laku lainya, begitu juga dengan
belajar. Anak memperoleh bahasanya, menurut pendapat mereka berdasarkan adat
dan kebiasaan serta penguat positif dari kedua orang tua atau orang yang berada
disekitarnya dan juga penguatan negatif berupa pemberian sanksi secara langsung
maupun tidak langsung untuk menjaga agar anak bisa menjawab pertanyaan dengan
benar dan menghindari kesalahan dalam berbahasa. Pengaruh madzab ini begitu
kuat dirasakan dalam pembelajaran bahasa pada beberapa dekade yang lalu.
Contohnya dengan digunakanya metode drill untuk pembelajaran bahasa.
B.
Teori Nativisme
Teori nativisme dipelopori oleh Noam
Chomsky. Pada tahun 1959 Chomsky menulis resensi yang secara tajam menyerang
teori skinner. Chomsky berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa pada anak
tidak didasarkan pada nurture tetapi pada nature, sama halnya seperti ketika
anak memperoleh kemampuan untuk berdiri atau berjalan. Anak atau manusia juga
tidak terlahir sebagai kertas kosong atau tabula rasa tetapi mereka telah
dibekali dengan sebuah alat atau piranti pemerolehan bahasa. Setiap anak
melalui proses pemerolehan bahasa yang sama dalam menguasai bahasa mereka
masing – masing (Dardjowidjojo, 2003)
Menurut pandangan ini, lingkungan tidak
memiliki pengaruh dalam pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa
merupakan pemberian biologis. Bahasa terlalu kompeks dan rumit sehingga mustahil dapat dipelajar secara
singkat hanya melalui metode peniruan (imitation),
dapat disimpulkan bahwa ada beberapa aspek penting mengenai system bahasa yang
sudah ada pada manusia secara alamiah (Chaer, 2003)
Bickerton dalam Brown (2000) juga
berpendapat bahwa pemerolehan bahasa bersifat nature. Ia melakukan sejumlah penelitian
mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness) dan
mendapatkan beberapa bukti yang cukup signifikan. Bukti-bukti tersebut
mengungkapkan bahwa manusia
itu sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu
tahap kebahasaan ke tahap kebahasaan berikutnya.
C. Behaviorisme
vs Nativisme (Nurture vs Nature)
Pemerolehan bahasa secara nurture dan nature sama-sama saling mendukung. Pemerolehan
secara nature diperlukan karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak
mungkin anak dapat berbahasa dan pemerolehan bahasa
secara nurture
diperlukan karena tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak
akan terwujud (Dardjowidjojo, 2003)
Pendapat pada paragraph sebelumnya
didukung oleh beberapa contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun
nature ternyata sama – sama saling diperlukan dalam pemerolehan bahasa:
a. Di
Los Angeles, pada tahun 1970, ditemukan seorang anak perempuan yang disekap
oleh orang tuanya di gudang belakang rumahnya. Selama 13 tahun ia tinggal dan
sering disiksa ayahnya di dalam gudang tersebut, dan hanya diberi makan namun
tidak pernah diajak berbicara oleh orang tuanya. Setelah diselamatkan, anak
perempuan tersebut diberi nama Ginie kemudian dilatih agar dapat berbahasa
selama 8 tahun, namun ia tetap tidak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo,
2003:237).
(pada contoh kasus
diatas walaupun Ginnie memiliki kemampuan bahasa bawaan atau nature, namun karena tidak adanya
pengaruh dari lingkungan semenjak ia dilahirkan atau nurture, maka usaha yang diupayakan agar Ginnie bisa berbahasa
menjadi sia – sia belaka karena usia Ginnie telah lebih dari 10 tahun)
b. Di
Ohio, seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun, yaitu Isabelle, diasuh oleh ibunya
yang tuna wicara. Ia kemudian diasuh oleh Marie Mason, seorang pimpinan rumah
sakit, dengan cara yang normal, dan ternyata Isabelle mampu menggunakan bahasa
seperti anak-anak normal lainnya (Dardjowidjojo, 2003:237).
(pada kasus kedua ini,
proses pemerolehan bahasa yang diberikan pada usia yang lebih muda yaitu 6,5
tahun ternyata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap LAD atau
kemampuan bahasa bawaan (innate) sehingga
ia mampu berbahasa)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
antara proses pemerolehan bahasa nurture
dan nature tidak ada yang lebih
penting antara satu dan lainya karena pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan
dengan baik bahkan bisa gagal tanpa keduanya.
D.
Tahapan
Pemerolehan Fonem, Kata dan Kalimat
1.
Tahap
Pemerolehan Fonem
Roman Jakobson menyatakan bahwa ada
universal bunyi pada bahasa manusia dan urutan pemerolehan bunyi – bunyi
tersebut sehingga dalam proses pemerolehan bahasa pada anak suatu bunyi tidak
akan melangkahi bunyi yang lain. Berikut adalah tahap – tahap pemerolehan fonem pada anak:
a.
Usia
0 – 2 bulan
Pada tahap ini anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksi untuk menyatakan rasa
lapar, sakti atau ketidaknyamanan yang menyebabkan anak menangis dan rewel,
serta bunyi vegetatif yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk,
bersin, sendawa, telanan (makanan), dan tegukan (menyusu atau minum). Umumnya
bunyi itu seperti bunyi vokal dengan suara yang agak serak. Sekalipun
bunyi-bunyi itu tidak bermakna secara bahasa, tetapi bunyi-bunyi itu merupakan
bahan untuk tuturan selanjutnya.
b.
Usia
2 – 5 bulan
Pada usia 2 – 5 bulan anak mulai memasuki tahap
berdekut/ cooing. Pada tahapan ini
anak mulai mengeluarkan bunyi – bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau
vokal tapi belum bisa dipastikan karena bentuknya belum terdengar jelas. Bunyi ini
biasanya muncul sebagai respon terhadap senyum atau ucapan ibunya atau orang
lain.
c.
Usia
6 – 12 bulan/ 1 tahun
Memasuki umur 6 bulan, tahap pemerolehan
fonologi selanjutnya adalah berceloteh (babbling).
Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vocal. Konsonan yang
biasa dikeluarkan adalah bilabial hambat /p/, /b/ atau bilabial nasal /m/, /n/,
sedangkan bunyi vocal yang pertama diperoleh oleh anak adalah /a/, sehingga
muncullah struktur bunyi:
-
Papapa
-
Mamama
-
Bababa
Celotehan “papa” dan “mama” yang diucapkan
anak sering dikaitkan dengan kata yang berarti ayah dan ibu oleh para orang tua
meskipun pada kenyataanya kita tidak dapat memastikan kebenaranya karena kita
tidak dapat menerka apa yang ada dibenak si anak. Bisa jadi celotehan tersebut
hanyalah cara anak untuk berlatih altikulatori belaka karena secara gradual
konsonan dan vokalnya akan berubah menjadi “dadi”, “dida”, “tita” karena anak
sudah mulai memperoleh konsonan alveolar seperti /t/, /d/ (Dardjowidjojo, 2003).
d.
Usia
2 – 4
Pada usia 2 – 3 tahun anak baru mengenal
vocal /a/, /i/, dan /u/ yang kemudian sesuai dengan perkembanganya akan disusul
oleh vocal yang lain. Memasuki usia 2 tahun konsonan yang diperoleh anak mulai
lebih bervariasi, setelah memperoleh konsonan bilabial hambat /p/, /b/, nasal
/m/, /n/ dan alveolar/t/, /d/ kemudian disusul oleh bunyi velar /k/. Pada usia
ini mulai muncul juga bunyi frikatif /s/ walaupun baru pada akhir kata. Seperti
pada kata [abis] karena ketika bunyi /s/ muncul di depan kata anak cenderung
akan menghilangkan bunyi tersebut seperti pada kata “sakit” akan diucapkan
[akit]. Kemudian pada usia 3 sampai 4 tahun bunyi /r/ akan keluar dan ketika
anak sudah memperoleh bunyi /r/, pasti bunyi /g/ dan /j/ juga sudah diperoleh.
Urutan pemunculan
bunyi ini bersifat genetik dan karena perkembangan biologi manusia itu tidak
sama maka kapan munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau
bulan kalender. Yang perlu ditekankan adalah bahwa pemerolehan suatu bunyi
tidak akan melangkahi pemerolehan bunyi – bunyi lainya. Pada umumnya bunyi yang
terletak dibagian depan mulut lebih mudah daripada yang dibelakang mulut.
Sehingga bunyi bilabial seperti /p/, /b/ akan muncul lebih dulu daripada bunyi
velar seperti /k/, /g/
2.
Tahap
Pemerolehan Kata dan Kalimat
a.
Tahap Ujaran Satu Kata (USK)
Fase ini berlangsung ketika anak
berusia 12 – 18 bulan. Anak memulai berbahasa dengan
mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak, adalah kalimat
penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya
mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu. Contoh: Kata mana yang dipilih
oleh anak untuk menyampaikan kalimat Dodi
mau bubuk? Apakah dia akan memilih di
(untuk Dodi), mau (untuk mau), ataukah buk (untuk bubuk)? Ternyata anak tersebut memilih kata buk (untuk bubuk).
Mengapa demikian? Karena anak lebih memilih infomasi baru berupa kata buk (bubuk)
daripada informasi lama berupa kata di
(Dodi) dan mau. Singkat kata, dalam ujaran bernama USK (Ujaran Satu Kata),
anak tidak sembarangan memilih kata, dia akan memilih kata yang memberi
informasi baru kepada mitra tuturnya.
USK juga
mempunyai ciri yang lain. Awalnya, USK hanya terdiri dari CV (Consonant Vowel)
saja. Bila kata itu CVC maka C yang kedua dilesapkan. Kata ball, misalnya, terwujud sebagai /bɔ/ saja. Begitu juga kata mobil akan disingkat menjadi /bi/. Seiring
perkembangan anak, konsonan akhir mulai muncul. Pada umur 2 tahun, seorang anak
menamakan ikan sebagai /tan/, persis
seperti kata untuk bukan.
b. Ujaran Dua Kata (UDK)
Sekitar umur 2 tahun anak mulai mengeluarkan Ujaran
Dua Kata, UDK (Two Word Utteramce) yaitu kata yang diselingi jeda sehingga
seolah-olah dua kata itu terpisah. Misal untuk menyatakan bahwa lampunya telah
menyala, bukan mengatakan /lampunala/ “Lampu nyala” tapi /lampu//nala/ dengan
jeda diantara lampu dan nyala.
Dengan adanya dua kata dalam UDK maka orang dewasa
dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh anak karena cakupan makna
menjadi lebih terbatas. Kalau kita mendengar anak mengatakan /lampunala/
seperti contoh di atas, kita lebih bisa menerka apa yang dimaksud anak daripada
kalau kita hanya mendengar /lampu/ atau /nala/ saja. Jadi, USK dan UDK
sangatlah berbeda.
Bloom (1970) di Chaer
(2003:186) mengatakan bahwa tuturan satu atau dua kata tanpa merujuk pada
situasi (konteks) belumlah cukup untuk menganalisis ucapan atau bahasa anak. Contoh:
Seorang anak mengucapkan kalimat “Ibu Kue”. Kalimat ini tidak bisa diartikan
tanpa melihat situasi karena memiliki banyak makna seperti berikut:
1.
Anak itu
meminta kue kepada ibunya
2.
Anak itu
menunjukkan kue pada ibunya
3. Anak itu menawarkan kue pada ibunya
Pendapat dari Bloom
dinamakan Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi. Berikut adalah
beberapa contoh ujaran dua kata (Dardjowidjojo 2000):
1.
/liat tupu-tupu/ “Ayo lihat kupukupu”.
2.
/etsa mimik/ “Echa
minta mimik”
3.
/etsa nani/ “Echa
mau nyanyi”
4.
/eyang tsini/ “Eyang,
ke sini”
Dari contoh di atas jika diamati dengan teliti maka
akan tampak bahwa dalam UDK anak ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case
relations). Misalnya pada contoh pertama, kita dapati bahwa anak telah
menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek. Pada contoh kedua,
hubungan kasus pelaku objek, dsb.
Hal
seperti ini merupakan gejala yang universal. Sekitar umur 2 tahun, anak telah
menguasai hubungan kasus-kasus dan operasi-operasi berikut ini Aitchison dalam
Dardjowidjojo:
Pelaku Perbuatan: Echa nyanyi
Pelaku Objek: Echa roti
Perbuatan Objek: Maem Krupuk
Pebuatan Lokasi: Pergi kamar
Pemilik-dimiliki: Sarung Eyang
Objek-lokasi: Mama kursi
Atribut-entitas: Ular gede
Nominatif: Ini ikan
Minta ulang: Mimik lagi
Tak ada lagi: lampu habis
c.
Tahap Banyak – Kata
Fase ini
berlangusng ketika anak berusia 3 – 5 tahun atau bahkan sampai mulai
bersekolah. Pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan tata
bahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan hanya dua kata tetapi 3
kata atau lebih. Pada umur 5 – 6 tahun. Bahasa anak telah menyerupai bahasa
orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa
serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu menggunakan
bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau
menghibur.
Tahap-tahap perkembangan bahasa di atas dilalui oleh semua
anak di dunia ini, yang berbeda hanyalah muatan bahasanya sesuai dengan
lingkungan bahasa tempat anak itu tinggal.
Pada tahap-tahap perkembangan bahasa di atas berkembang pula penguasaan mereka atas sistem bahasa yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem berikut.
Pada tahap-tahap perkembangan bahasa di atas berkembang pula penguasaan mereka atas sistem bahasa yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem berikut.
a.
Fonologi, yaitu pengetahuan tentang pelafalan dan penggabungan bunyi-bunyi
tersebut sebagai sesuatu yang bermakna.
a.
Gramatika (tata
bahasa), yaitu pengetahuan tentang aturan pembentukan unsur tuturan.
b.
Semantik leksikal
(kosakata), yaitu pengetahuan tentan kata untuk mengacu kepada sesuatu hal.
c. Pragmatik, yaitu pengetahuan tentang penggunaan bahasa dalam
berbagai cara untuk berbagai keperluan.
Sub-subsistem
di atas diperoleh anak secara bersamaan dengan keterampilan berbahasanya itu
sendiri. Tentu saja hal itu didapat anak tanpa di sadari.
E. Simpulan
Pemerolehan
bahasa pada anak adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama
penguasaan bahasa pertama ini, anak mempelajari bahasa secara tidak sadar dan
biasanya dari faktor lingkungan mempengaruhi proses belajar bahasanya.
Sedangkan pembelajaran bahasa pada anak adalah proses penguasaan bahasa kedua
oleh si anak. Dalam pembelajaran bahasa
ini, anak melakukannya secara sadar dan melalui proses belajar-mengajar yang
formal.
Ada
beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak dalam pemerolehan bahasa pertama.
Tahap yang dimaksud adalah tahap pra-linguistik (masa meraban), tahap pemerolehan
sintaksis meliputi ujaran satu-kata, ujaran dua-kata dan ujaran banyak kata.
Bagaimana
sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada beberapa teori
pemerolehan bahasa yang menjelaskan sudut pandang yang berbeda dalam
menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa pertamanya. Teori behaviorisme
menganggap pemerolehan bahasa bersifat nurture
(ditentukan oleh faktor lingkungan) sedangkan teori nativisme menganggap
pemerolehan bahasa bersifat nature
(alami) ditunjukkan dengan adanya LAD (Piranti Pemerolehan Bahasa) pada setiap
anak.
REFERENSI
Brown,
H. Douglas. 2000. Principle of Language
Learning and Teaching. New York: Addison Wesley Longman, Inc
Chaer,
Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian
Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta
Harras,
Bachari. 2009. Dasar-dasar
Psikolinguistik. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Dardjowidjojo. 2003. Psikolinguistik:Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Su’udi, Astini. 2011. Pengantar Psikolinguistik Bagi Pembelajar
Bahasa Perancis. Semarang: Widya Karya
http://id.wikipedia.org/wiki/Ivan_Pavlov
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerolehan_bahasa
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_ibu
http://ppb.umy.ac.id/elearning/news/1233_92
Bang Didit.... Englis Teacher Medoho Permai No. 5
ReplyDeletewkwkwkwkw.....