TATARAN
LINGUISTIK : MORFOLOGI
4.1. Morfem
Tata bahasa
tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebabmorfem bukan
merupakan satuan dalam sintaksis, dan tidak semua morfem mempunyai makna secara
filosofis. Konsep morfem baru diperkenalkan oleh kaum strukturalis pada awal
abad kedua puluh ini.
4.1.1. Identifikasi
Morfem
Untuk menentukan
sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk
tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut
ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk
tersebut adalah sebuah morfem
Jadi, kesamaan arti
dan kesamaan bentuk merupakan ciri atau identitas sebuah morfem.
4.1.2. Morf dan Atomorf
Sudah disebutkan
bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan
bentuk yang lain. Bentuk-bentu krealisasi yang berlainan dari morfem yang sama
itu disebut alomorf. Dengan perkataan lain alomorf adalah perwujudan konkret
(di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai
alomorf, entah satu, entah dua, atau juga enam buah Selain itu bisa iuga
dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama.
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya; sedangkan
alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status
morfemnya.
4.1.3. Klasifikasi
Morfem
Morfem-morfem dalam
setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain
berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
4.1.3.1. Morfem
Bebas dan Morfem Terikat
Morfem bebas adalah
morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncut dalam pertuturan.
Misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus. Morfem terikat adalah morfem
yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam
pertuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat.
Berkenaan dengan
morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu
dikemukakan. Yaitu:
Pertama,
bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem
terikat, karena bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat
muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi. Bentuk-bentuk
seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial.
Kedua, sehubungan
dengan istilah prakategorial di atas, menurut konsep Vefiaar (1978)
bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk
prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan ”pangkal” kata,
sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan ,sesudah mengalami proses morfologi.
Ketiga,
bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang
(yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam
segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam
pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.
Keempat,
bentuk-bentuk yang tennasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari; pada,
dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara
sintaksis ; merupakan bentuk terikat.
Kelima, yang
disebut klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya; apakah
terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, biasanya hanya satu
silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam
pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Umpamanya,
klitika -lah dalam bahasa Indonesia.
Proklitika adalah
klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada
konstruksi kubawa dan kuambil. Sedangkan enlditika adalah klitika yang
berposisi di belakang kata yang ditekati, seperti -lah, -nya, dan –ku.
4.1.3.2. Morfem
Utuh dan Morfem Terbagi
Pembedaan morfem
utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem
tersebut: apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian
yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Semua morfem dasar
bebas yang dibicarakan pada 4.1.3.1 adalah termasuk morfem utuh, seperti
{meja}, {kursi}, {kecil}, (taut), dan {pinsil}. Begitu juga dengan sebagian
morfem terikat, seperti {ter-}, {ber-}, (henti}, dan {juang}. Sedangkan morfem
terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah.
Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu }
dan satu morfem terbagi, yakni { ke-/-an } kata perbuatan terdiri dari satu
morfem utuh, yaitu {buat} dan satu morfem terbagi, yaitu {per-/-an}.
Sehubungan dengan
morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada catatan yang perlu
diperhatikan, yaitu:
Pertama, semua
afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, { ber-/-an } (per-/-an}, dan {
pe-/-an } adalah termasuk morfem terbagi. hlamun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan
konfiks, dan bermusuhan saling memusuhi; tetapi bisa juga bukan konfiks,
seperti pada beraturan dan berpakaian.
Kedua dalam bahasa
Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yakni afiks yang disisipkan di tengah
morfem dasar. Misalnya, afiks {-er} pada kata gerigi, infiks {-el-} pada kata
pelatuk, dan infiks {-em-} pa a kata gemetar.
4.1.3.3. Morfem
Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental
adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat},
{lah}, {sikat}, dan (ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem
segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh
unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.
Morfem
segmental-suprasegmental sekaligus bersama-sama.
4.1.3.4. Morfem
Beralomorf Zero
Dalam linguistik
deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau not (lambangnya
berupa Æ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi
segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan bempa
”kekosongan”.
4.1.3.5. Morfem
Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud
dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah
memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem
lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda}, {pergi},
{lari} dan {merah} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu,
morfem-morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara
bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertuturan.
Sebaliknya, morfem
tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri.
Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam
suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal
ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.
Dalam dikotomi
morfem bermakna leksikal dan tak bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indonesia
timbul masalah. Morfem-morfem §eperti { juang } { henti } dan {gaul} yang oleh
Verhaar disebut bentuk prakategoriai, mempunyai makna atau tidak ? Kalau
dikatakan mempunyai makna jelas morfem-morfem tersebut tidak dapat berdiri
sendiri sebagai bentuk yang otonom di dalam pertuturan. Kalau dikatakan tidak
bermakna jelas morfem-morfem itu bukan afrks. Secara semantik, morfemmorfem
itu mempunyai makna; tetapi secara gramatikal morfemmorfem tersebut tidak
mempunyai kebebasan dan otonomi.
Ada satu bentuk
morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal
atau tidak, yaitu morfem-morfem yang di datam gramatika berkategori sebagai
preposisi dan konjungsi. Morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi
jetas bukan afiks dan jelas memiiiki makna. Namun, kebebasannya dalam
pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebasan morfem afiks.
4.1.4. Mofem Dasar,
Bentuk Dasar, Pangkal (Stem), dan Akar (Root)
Istilah morfem
dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi,
bentuk-bentuk seperti { juang } {kucing}, dan {sikat} adalah morfem dasar.
Morfem dasar ini ada yang termasuk morfem terikat, seperti { juang }, { henti
}, dan { abai }; tetapi ada juga yang termasuk morfem bebas, seperti {beli},
{lari}, dan {kucing}, sedangkan morfeol afiks, seperti {ber-}, {ter-}, dan
{-kan} jelas semuanya termasuk morfem terikat.
Sebuah morfem dasar
da at menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses
morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses atiksasi, bisa
diulang dalam suatu proses reduptikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain
dalam suatu proses komposisi.
Istilah bentuk
dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk
yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa
morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem.
Istilah pangkal
(stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses
pembubuhan afiks inflektif.
Akar (root)
digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya,
akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya, baik afiks
infleksional maupun afiks derivasionalnya ditanggalkan.
Mengakhiri subbab
ini perlu diketengahkan adanya tiga macam morfem dasar bahasa Indonesia dilihat
dari status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada
morfem dasar itu. Pertama, adalah morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang
secara potensiai dapat langsung. menjadi kata, sehingga langsung dapat
digunakan dalam ujaran. Misalnya, morfem {meja}, {kursi}, {perai} dan (kuning}
Kedua, morfem dasar
yang kebebasannya dipersoaikan. Yang termasuk ini adalah sejumlah morfem
berakar verba, yang dalam kalikmat imperatif atau katimat sisipan, tidak perlu
diberi imbuhan; dan dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat ditanggalkan.
Ketiga morfem dasar
terikat, yakni morfem dasar yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi kata
tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya, morfem-morfem {
juang }, {henti}, {gaul}, dan {abai }.
4.2. Kata
Secara panjang lebar
pada subbab 5.1 di atas telah dibicarakan mengenai satuan gramatikal yang
disebut morfem. Namun, istilah dan konsep morfem ini tidak dikenal oleh para
tata bahasawan tradisional. Yang ada dalam tata bahasa tradisional sebagai
satuan lingual yang selalu dibicarakan adalah satuan yang disebut kata. Apakah
kata itu, bagaimana kaitannya dengan morfem, bagaimana klasifikasinya, serta
bagaimana pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini.
4.2.1. Hakikat Kata
Para tata bahasawan
tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan
ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu
pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan
mempunyai satu arti. Pendekatan arti dan ortografi dari tata bahasa tradisionai
ini banyak menimbulkan masalah. Kata-kata seperti sikat, kucing dan spidol
memang bisa dipahami sebagai satu kata; tetapi bentuk-bentuk seperti matahari
tiga puluh dan luar negeri apakah sebuah kata, ataukah dua buah kata, bisa
diperdebatkan orang. Pendekatan ortografi untuk bahasa-bahasa yang menggunakan
huruf Latin, bisa dengan mudah dipahami, meskipun masih timbul persoalan.
Tetapi pendekatan ortografi ini agak sukar diterapkan untuk bahasa yang tidak
menggunakan huruf Latin,
Para tata bahasawan
struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, tidak lagi membicarakan kata
sebagai satuan lingual; dan menggantinya dengan satuan yang disebut morfem.
Para linguis
setelah Bloomfield juga tidak menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Tidak
dibicarakannya hakikat kata secara khusus oleh kelompok Bloomfield dan
pengikutnya adalah karena dalam analisis bahasa, mereka melihat hierarki bahasa
sebagai: fonem, morfem, dan kalimat. Berbeda dengn tata bahasa tradisional yang
melihat hierarki bahasa sebagai: fonem, kata, dan kalimat.
Batasan kata yang
umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata
merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan
tidak berubah dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat.
Batasan tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa setiap kata mempunyai
susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat
diselipi atau diselang oleh fonem lain.
Kedua, setiap kata
mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat
diisi atau digantikan oleh kata lain; atau juga dapat dipisahkan dari kata
lainnya.
4.2.2. Klasifikasi
Kata
Istilah lain yang
biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata, atau penjenisan
kata; dalm peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech. Klasifikasi
kata ini dalam sejarah lingguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak
pernah terlewatkan. Hal ini terjadi, karena, pertama setiap bahasa mempunyai
cirinya masing-masing; dan kedua, karena kriteria yang digunakan untuk membuat
klasifikasi kata itu bisa bermacam-macam.
Para tata bahasawan
tradisional mengguaakan kriteria makna dan kriteria tungsi. Kriteria makna
digunakan urltuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektifa;
sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi,
konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lainnya. Verba adalah kata yang
menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang
menyatakan benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata
yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian
kalimat yang satu dengan bagian yang lain.
Para tata bahasawan
strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam
suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang
dapat berdistribusi di belakang kata bukan; atau dapat mengisi konstruksi bukan
….. Jadi, kata-kata seperti buku, pinsil dan nenek adalah termasuk nomina, sebab
dapat berdistribusi di belakang kata bukan itu. Yang termasuk verba adalah kata
yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak, atau dapat mengisi konstruksi
tidak ….. Jadi, kata-kata seperti makan, minum, lari adalah termasuk kelas
verba, karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak itu. Lalu, yang
disebut ajektifa adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di betakang kata
sangat, atau dapat mengisi konstruksi sangat ….. Jadi, kata-kata seperti merah,
nakal, dan cantik adalah termasuk ajektifa karena dapat berdistribusi di
belakang kata sangat itu.
Ada juga kelompok
linguis yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan untuk
menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subjek diisi oleh kelas nomina;
fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh kelas nomina;
dan fungsi keterang oleh adverbia. Oleh kartena itu semua kata yang menduduki
fungsi.
Klasifikasi atau
penggolongan kata itu memang perlu. Dengan mengenal kelas sebuah kata, yang
dapat kita identifikasikan dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan
penggunaan atau mendistribusian kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata
yang berciri atau beridentifikasi yang sama saja yang dapat menduduki suatu
fungsi atau suatu distribusi di dalam kalimat.
4.2.3. Pembentukan
Kata
Untuk dapat
digunakan di dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar,
terutama dalam bahasa fleksi dan aglutunasi, harus dibentuk lebih dahulu
menjadi sebuah kata gramatikal, baik melalui proses afiksasi, proses reduplikasi,
maupun proses komposisi.
Pembentukan kata
ini mempunyai dua sifat, yaitu pertama membentuk kata-kata yang bersifat
inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif.
4.2.3.1. Inflektif
Alat yang digunakan
untul penyesuaian bentuk itu biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa
prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga berupa modifikasi internal, yakn
perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar itu.
Perubahan atau
penyesuaian bentuk pada verba disebut konyugasi, dan perubahan atau penyesuaian
pada nomina dan ajektif disebut deklinasi. Konyugasi pada verba biasanya
berkenaan dengan kala (tense), aspek, modus, diatesis, persona, jumlah, dan
jenis Sedangkan deklinasi biasanya berkenaan dengan jumlah, jenis, dai kasus.
Hanya bentuknya
saja yang berbeda, yang disesuaikan dengan kategori gramatikalnya.
Bentuk-bentuk tersebut dalam morfologi infleksional disebut paradigma
infleksional.
Verhaar (1978),
menyatakan bentuk-bentuk seperti membaca, dibaca, terbaca, kaubaca, dan bacalah
adalah paradigma infleksional. Dengan kata lain, bentuk-bentuk tersebut
merupakan kata yang sama, yang berarti juga mempunyai identitas jeksikal yang
sam. Perbedaan bentuknya adalah berkenaan dengan modus kalimatnya.
4.2.3.2. Derivatif
Pembentukan kata
secara infektif, tidak membentuk kata baru, atau kata lain yang berbeda
identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Hat ini berbeda dengan
pembentukan kata secara derivatif atau derivasional. Pembentukan kata secara
derivatif membentuk kata baru, kata yang identitas teksikalnya tidak sama dengan
kata dasarnya.
4.3. Proses
Morfemis
Di atas dalam
pembicaraan tentang infleksi dan derivasi sudah dibicarakan sebagian kecil dari
proses morfemis, atau proses morfologis, atau juga proses gramatikal, khususnya
pembentukan kata dengan afiks. Namun, hal ihwal afiksnya itu sendiri belum
dibicarakan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibicarakan proses-proses
morfemis yang berkenaan dengan afiksasi, reduplikasi, konposisi, dan juga
sedikit tentang konversi dan modifikasi intem. Kiranya perlu juga dibicarakan
produktifitas proses-proses morfemis itu.
4.3.1. Afiksasi
Afiksasi adalah
proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini
terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna
gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula
bersifat derivatif. Namun, proses ini tidak berlaku untuk semua bahasa. Ada
sejumlah bahasa yang tidak mengenal proses afiksasi ini.
Bentuk dasar atau
dasar yang menjadi dasar dalam proses afiksasi dapat berupa akar, yakni bentuk
terkecil yang tidak dapat disegmentasikan lagi, misalnya meja, beli, makan,
dan sikat dalam bahasa Indonesia; atau go; write, sing, dan like dalam bahasa
Inggris.
Afiks adalah sebuah
bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam
proses pembentukan kata. Sesuai dengan sifat kata yang dibentuknya, dibedakan
adanya dua jenis afiks, yaitu afiks inflektif dan afiks derivatif. Yang
dimaksud dengan afiks inflektif adalah afiks yang digunakan dalam pembentukan
kata-kata inflektif atau paradigma infleksional.
Prefiks adalah
afiks yang diimbuhkan di muka bentuk dasar, seperti me- pada kata menghibur,
un- pada kata Inggris unhappy dan pan- pada kata Tagalog panulat ‘alat tulis’
Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya infiks – el- pada kata telunjuk, dan -er- pada kata
seruling, dalam bahasa Sunda -ar- pada kata barudak dan tarahu. Dalam bahasa
Sunda infiks ini cukup produktif, tetapi dalam bahasa Indonesia tidak
produktif.
Yang dimaksud
dengan sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar.
Umpamanya, dalam babasa Indonesia, sufiks -an pada kata bagian, dan sufiks -kan
pada kata bagikan. Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian
pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang kedua berposisi pada
akhir bentuk dasar.
Ada konfiks
per-/-an seperti terdapat pada kata pertemuan, konfiks ke-/-an seperti pada
kata keterangan, dan konfiks ber-/-an seperti terdapat pada kata berciuman.
Yang dimaksud
dengan interfiks adalah sejenis infiks atau elemen penyambung yang muncul
dalam proses penggabungan dua buah unsur.
4.3.2. Reduplikasi
Reduplikasi adalah
proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara
sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. seperti meja-meja (dari
dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan
reduplikasi denga perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik).
Reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang
tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang
diulang.
Bahasa Jawa dan
bahas Sunda. Istilah-istilah itu adalah (a) dwilingga, yakni pengulangan morfem
dasar, seperti meja-meja, aki-aki dan mlaku-mlaku ”berjalan-jalan”, (b)
dwilingga salin suara, yakni pengulangan morfem dasa dengan perubahan vokal dan
fonem lainnya, seperti bolak-balik, langak longok, dan mondar-mandir; (c)
dwipurwa, yakni pengulangan silabel pertama, seperti lelaki, peparu, dan
pepatah; (d) dwiwasana, yakn pengulangan pada akhir kata, seperti cengengesan
”selalu tertawa” yang terbentuk dari cenges ”tertawa”, dan (e) trilingga, yakni
pengulangan morfem dasar sampai dua kali, seperti dag-dig-dug, cas-cis-cus, dan
ngak-ngik-ngok.
Proses reduplikasi
dapat bersifat paradigmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat
derivasional. Reduplikasi yang paradigmatis tidak mengubah identitas leksikal,
melainkan hanya memberi makna gramatikal. Misalnya, meja-meja berarti ”banyak
meja” dan kecil-kecil yang berarti ”banyak yang kecil”. Yang bersifat
derivasional membentuk kata baru atau kata yang identitas leksikalnya berbeda
dengan bentuk dasarnya. Dalam bahasa Indonesia bentuk laba-laba dari dasar laba
dan pura-pura dari dasar pura.
Khusus mengenai
reduplikasi dalam bahasa Indonesia ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan,
yakni :
Pertama, bentuk
dasar reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat berupa morfem dasar seperti meja
yang menjadi meja-meja, bentuk berimbuhan seperti pembangunan yang menjadi
pembangunan-pembangunan, dan bisa juga berupa bentuk gabungan kata seperi
surat kabar yang menjadi surat-surat kabar atau surat kabar-surat kabar.
Kedua, bentuk
reduplikasi yang disertai afiks prosesnya mungkin: (1) proses reduplikasi dan
proses afiksasi itu terjadi bersamaan seperti pada bentuk berton-ton dan
bermeter-meter; (2) proses reduplikasi terjadi lebih dahulu, baru disusul oleh
proses afiksasi, seperti pada berlari-lari dan mengingat-ingat (dasarnya
lari-lari dan ingat-ingat); (3) proses afiksasi terjadi lebih dahulu, baru
kemudian diikuti oleh proses reduplikasi, seperti pada kesatuan-kesatuan dan
memukul-memukul (dasamya kesatuan dan memukul.
Ketiga, pada dasar
yang berupa gabungan kata, proses reduplikasi mungkin harus berupa reduplikasi
penuh, tetapi mungkin juga hanya berupa reduplikasi parsial. Misalnya, ayam
itik -ayam itik dan sawah ladang-sawah ladang (dasamya ayam itik dan sawah ladang)
contoh yang reduplikasi penuh, dan surat-surat kabar serta rumah-rumah sakit
(dasamya surat kabar dan rumah sakit) contoh untuk reduplikasi persial.
Keempat, banyak
orang menyangka bahwa reduplikasi dalam bahasa Indonesia hanya bersifat
paradigmatis dan hanya memberi makna jamak atau kevariasian. Namun, sebenamya
reduplikasi dalam bahasa Indonesia juga bersifat derivasional. Oleh karena itu,
munculnya bentuk-bentuk seperti mereka-mereka, kita-kita, kamu-kamu, dan dia-dia
tidak dapat dianggap menyalahi kaidah bahasa Indonesia.
Kelima, ada pakar
yang menambahkan adanya reduplikasi semantis, yakni dua buah kata yang maknanya
bersinonim membentuk satu kesatuan gramatikal. Misalnya, ilmu pengetahuan,
hancur, luluh, dan alim ulama.
Keenam, dalam
bahasa Indonesia ada bentuk-bentuk seperti kering kerontang, tua renta, dan
segar bugar di satu pihak; pada pihak lain ada bentuk-bentuk seperti
mondar-mandir, tunggang-langgang, dan komat-kamit, yang wujud bentulrnya perlu
dipersoalkan. Kelompok pertama, yang salah satu komponennya berupa morfem bebas
dan komponen yang lain berupa morfem unik, apakah merupakan bentuk reduplikasi
berubah bunyi, ataukah berupa bentuk komposisi ? Kelompok kedua, yang kedua
komponennya bempa morfem terikat, apakah merupakan bentuk reduplikasi atau
bukan, sebab masing-masing komponennya tidak dapat ditentukan sebagai bentuk
dasamya. Jadi, manakah yang diulang? Begitu juga dengan bentuk rama-rama, sema-sema,
ani-ani, dan tupai-tupai; serta bentuk-bentuk seperti pipi, kuku, sisi, dan
titi, perlu dan bisa dipersoalkan apakah hasil proses reduplikasi ataukah
bukan.
4.3.3. Komposisi
Komposisi adalah
hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas
maupun yang terikat sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki
identitas leksikal yang berbeda, atau yang baru.
Dalam bahasa
Indonesia proses komposisi ini sangat produktif. Hal ini dapat dipahami, karena
dalam perkembangannya bahasa jndonesia banyak sekali memerlukan kosakata untuk
menampung konsep-konsep yang belum ada kosakatanya atau istilahnya dalam bahasa
Indonesia.
Produktifnya proses
komposisi itu dalam bahasa Indonesia menimbulkan berbagai masalah dan berbagai
pendapat karena komposisi itu memiliki jenis dan makna yang berbeda-beda.
Masalah-masalah itu antara lain masalah kata majemuk aneksl, dan frase.
Para ahli tata
bahasa tradisional, seperti Sutan Takdir Alisjahbana (1953), yang berpendapat
bahwa kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang tidak
merupakan gabungan makna unsur-unsumya.
Kelompok linguis
lain, yang berpijak pada tata bahasa struktural menyatakan suatu komposisi
disebut kata majemuk, kalau di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat
disisipkan apa-apa tanpa merusak komposisi itu. Bisa juga suatu komposisi
disebut kata majemuk kalau unsur-unsurnya tidak dapat dipertukarkan tempatnya.
Ada lagi kelompok
lain yang membandingkan dengan kata majemuk dalam bahasa-bahasa Barat. Dalam
bahasa Inggris, misalnya, kata majemuk dan bukan kata majemuk berbeda dalam hal
adanya tekanan.
Linguis kelompok
lain, ada juga yang menyatakan sebuah komposisi adalah kata majemuk kalau
identitas leksikal komposisi itu sudah berubah dari identitas leksikal
unsur-unsurnya.
Verhar (1978)
menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk kalau hubungan kedua unsurnya
tidak bersifat sintaksis.
Kridalaksana (1985)
menyatakan kata majemuk haruslah tetap berstatus kata, kata majemukj harus
dibedakan dari idiom sebab kata majemuk adalah konsep sintaksi,s edangkan idiom
adalah konsep semantis.
4.3.4. Konversi,
Modifikasi, Internal dan Suplesi
Konversi, sering
juga disebut derivasi zero, transmutasi dan transposisi, adalah proses
pembentukan kata dari sebuah kata menjadi kata lian tanpa perubahan unsur
segmental.
Modifikasi internal
(sering disebut juga penam bahan internal atau perubahan internal) adalah
proses pembentukan kata dengan penambahan unsur-unsur (yang biasanya berupa
vokal) ke dalam morfem yang berkerangka tetap.
4.3.5. Pemendekan
Pemendekan adalah
proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi
sebuah bentuk singkat tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya
Hasil proses pemendekan ini kita sebut kependekan Misalnya bentuk lab (utuhnya
laboratorium), hlm (utuhnya halaman) l (utuhnya liter), hankam (utuhnya
pertahanan dan keamanan), dan SD (utuhnya Sekolah Dasar).
Penggalan adalah kependekan
berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari bentuk yang dipendekkan itu
Misalnya, lab, atau labo dari laboratorium dok dari bentuk utuh dokter, dan
perpus dan bentuk utuh perpustakaan Yang dimaksud dengan smgkatan adalah hasil
proses pemendekan
a. Pengekalan huruf
awal dari sebuah leksem, atau huruf-huruf awal dari gabungan (eksem. Misalnya:
I (liter), R (radius), H. (haji), kg (kilogram), km (kilometer), DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat), dan UI (Universitas Indonesia).
b. Pengekatan
beberapa huruf dari sebuah leksem. Misalnya: hlm (halaman), dng (dengan), rhs
(rahasia), dan bhs (bahasa).
c. Pengekalan hurut
pertama dikombinasi dengan penggunaan angka untuk penggauti huruf yang sama.
Misalnya: P3 (partai persatuan pembangunan), P4 (pedoman penghayatan pengamalan
Pancasila), Lp2P {laporan pajak-pajak pribadi, dan P3AB (proyek percepatan
pengadaan air bersih).
d. Pengekalan dua,
tiga, atau empat huruf pertama dari sebuah leksem. Misalnya: As (asisten), Ny.
(Nyonya), Okt (Oktober), Abd (Abdul), dan pum (pumawirawan).
e. Pengekalan huruf
pertama dan huruf terakhir dari sebuah leksem. Misalnya: Ir (insinyur), Fa
(Firma), Jo (juncto), dan Pa (perwira).
Akronim adalah
hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud
pemendekannya dapat berupa pengekalan huruf huruf pertama berupa pengekalan
suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tak beraturan.
Pemendekan
merupakan proses yang cukup produktif, dan terdapat hampir pada semua bahasa.
Produktifnya proses pemendekan ini adalah karena keinginan untuk menghemat
tempat (tulisan), tentu juga ucapan.
Dalam bahasa
Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif adalah karena bahasa
Indonesia seringkali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang
agak pelik atau sangat pelik.
Keproduktifan
pemendekan ini dalam Bahasa Indonesia tampak juga dari adanya bentuk yang sudah
merupakan hasil pemendekan dipendekkan lagi karena bentuk yang sudah merupakan
kependekan itu diberi deskripsi lagi, sehingga menjadi bentuk yang cukup
panjang, dan karena itu pedu dipendekkan lagi.
4.3.6. Produktivitas
Proses Morfemis
Yang dimaksud
dengan produktivitas dalam proses morfemis ini adalah dapat tidaknya proses
pembentukan kata itu terutama afiksasi, reduplikasi, dan komposisi digunakan
berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas; artinya, ada kemungkinan
menambah bentuk baru dengan proses tersebut. Proses inflektif atau paradigmatis
karena tidak membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama
dengan bentuk dasamya, trdak dapat dikatakan proses yang produktif. Proses
inflektif bersifat tertutup.
Proses derivasi
bersifat terbuka. Artinya penutur suatu bahasa dapat membuat kata kata baru
dengan aroses tersebut. Proses derivasi adalah produktif, sedangkan proses
infleksi tidak produktif.
Namun, perlu
diketahui ke produktifan proses derivasi ini, dan penambahan alternan –alternan
baru pada daftar derivasional, dibatasi oleh kaidah-kaidah yang sudah ada.
Misalnya pembentukan kata baru dengan prefiks memper- terbatas pada dasar
ajektival dan dasar numeral; dan tidak dapat ada dasar verbal
Selain itu perlu
juga di perhatian, meskipun kaidah mengizinkan untuik terbentuknya suatu kata,
namun dalam kenyataan berbahasa bentuk-bentuk tersebut tidak terdapat.
Tidak adanya sebuah
bentuk yang seharusnya ada. Fenomena ini terjadi karena adanya bentuk lain yang
menyebabkan tidak adanya betnuk yang dianggap seharusnya ada.
Dalam bahasa
Indonesia yang ada tampaknya bukan kasus bloking, melainkan ”persaingan” antara
kata derivatif dengan bentuk atau konstruksi frase yang menyatakan bentuk dasar
dengan maknanya.
Bentuk-bentuk yang
menurut kaidah gramatikal dimungkinkan keberadaannya, tetapi ternyata tidak
pernah ada, seperti mencatikan dan memisau di atas disebut bentuk yang potensial
yang pada suatu saat kelak mungkin dapat muncul Sedangkan bentuk-bentuk yang
nyata ada, seperti bentuk menjelekkan dan bersepeda disebut bentuk-bentuk
aktual.
4.4. Morfofonemik
Morfofonemik,
disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa
berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi,
reduplikasi maupun komposisi.
Perubahan fonem
dalam proses merfofonemik ini dapat berwujud: (1) pemunculan fonem (2)
pelesapan fonem (3) peluluhan fonem, (4) perubahan fonem, dan (5) pergeseran
fonem. Pemunculan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan prefiks me-
dengan bentuk dasar baca yang menjadi membaca; di mana terlihat muncul konsonan
sengau /m/ Juga dalam proses pengimbuhan sufiks -an dengan bentuk dasar hari
yang menjadi /hariyan / di mana terlihat muncul konsonan /y/ yang semula tidak
ada. Pelesapan fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan akhiran wan pada
kata sejarah di mana fonem /h/ pada kata sejarah itu menjadi hilang; juga dalam
proses penggabungan kataanak dan partikel -nda di mana fonem /k/ pada kata anak
menjadi hilang dan juga dalam pengimbuhan dengan prefiks ber- pada kata renang
di mana fonem /r/ dan prefiks itu dihilangkan.
Proses peluluhan
fonem dapat kita lihat dalam proses pengimbuhan dengan prefiks me- pada kata
sikat di mana fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan desenyawakan dengan
bunyi nasal /ny/ dan prefiks tersebut.
Proses perubahan
fonem dapat kita lihat pada proses pengimbuhan prefiks ber- pada kata ajar di
mana fonem /r/ dari prefiks itu berubah menjadi fonem /l/.
Proses pergeseran
fonem adalah pindahnya sebuah fonem dari silabel yang satu ke silabel yang lam
biasanya ke silabel berikutnya dalam prose pengimbuhan sufiks /an/ pada kata
jawab di mana-fonem /b/ yang semula berada pada silabel /wab/ pindah kesilabel
/ban/.
Seperti tampak dari
namanya, yang merupakan gabungan dari dua bidang studi yaitu morfologi dan
fonologi, atau morfoiogi dan fonemik, bidang kajian morfonologi atau
morfofonemik ini, meskipun biasanya dibahas dalam tataran morfologi, tetapi
sebenamya lebih banyak menyangkut masalah fonologi. Kajian ini tidak
dibicarakan dalam tataran fonologi karena masalahnya baru muncul dalam kajian
morfologi terutama dalam proses afiksasi reduplikasi dan komposisi. Masalah
morfofonemik ini terdapat hampir pada semua bahasa yang mengenal proses-proses
morfologis.
Assalamualaikum, kak kalau boleh tahu secara terperinci apa saja yang tergolong tataran morfologi?
ReplyDelete